Principal things

Minggu, 31 Oktober 2010

Kepedulian Para Abdi Negara

Beberapa waktu lalu.. Gunung Merapi meletus. Masyarakat sekitar Jogja  mengungsi menjauhi daeah letusan. Indonesia berduka kembali. Seorang abdi Keraton yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia, turut menjadi korban letusan Gn. Merapi. Mbah Maridjan.

Di luar kekuasaan manusia untuk dapat memperkirakan ajal dan bencana, semua adalah kehendak Allah SWT.
Namun ada sebuah keteladanan yang didapat dari cerita hidup beliau.
Beliau menjadi abdi dalem Keraton, yang cukupp spesial karena diberi kepercayaan sebagai penjaga Gn. Merapi hingga akhir hayatnya. Sebuah nilai loyalitas hidup yang patut diacungi jempol.

Sebuah pertanyaan kembali timbul.
Mari kita menganalogikan negara Indonesia sebagai sebuah kerajaan atau keraton dengan banyak birokrasi di dalamnya. Presiden Indonesia sebagai pemimpin negara. Masyarkat Indonesia menjadi masyarakat keraton dan para menteri sebagai patih. Maka, anggota MPR mendapati peran sebagai para abdi dalem yang mengabdi penuh untuk negara.

 Seorang abdi dalem tentu dipilih bukan tanpa alasan. Mereka terpilih karena mereka memiliki rasa pengabdian yang tinggi untuk kerajaan. Apapun yang terjadi, mereka akan terus membantu kerajaan, hingga akhir hayat. Meskipun, kerajaan mampu ataupun tidak mampu untuk membayar upah kepada mereka. Mereka tetap rela berbuat yang terbaik untuk negara.

Kembali ke masalah analogi, maka dengan penganalogian tersebut, anggota MPR seharusnya juga bisa mencontoh atau meneladani sikap dan pendirian para abdi dalem. Mencontoh kesetiaan mereka, mencontoh nilai loyalitas kepada negara tanpa pamrih. Namun, apa yang dapat kita lihat sekarang sangat  berbeda kontras kondisinya. Jika boleh dibilang, anggota MPR bukanlah seperti abdi dalem, yang membantu negara, namun lebih tampak seperti oposisi terhadap pemerintahan. Selain itu, mereka juga tidak pernah memperlihatkan loyalitas. Rapat diisi dengan tidur dan acara mengobrol, bermain alat komunikasi (hape),sibuk sendiri, malah seringkali bolos dari rapat. Padahal, berapa uang dan upah, tunjangan yang negara ini sudah beri untuk mereka??  Jumlahnya tak cukup dihitung dengan kalkulator penjual sayur.
Sungguh suatu ironi bangsa. Mereka hanya bisa menuntut tanpa memikirkan dan bertindak yang terbaik.
Jika kita sadar bahwa tiada yang dapat memajukan bangsa ini selain bangsa ini sendiri, maka sebaiknya kita dapat melakukannya selangkah demi langkah. Dimulai dari kesadaran diri sendiri.